Lari...
Hal paling melelahkan, namun pilihan terandal untuk melempar kalut—paling tidak sampai saat ini.
Pikiranku melayang hingga menembus ke awan,
bisa nggak ya selamanya begini?
Nyatanya, buaian kenikmatan itu membangun jeri...
Kalau sudah sampai puncak...BOOM!!
Bahkan kaki pun tak kuasa menapak dinginnya keramik hijau mencolok di bawahku.
Kalau pun harus dibelah, otak ini sepertinya sudah membiru saking lemahnya debit cairan merah yang lalu-lalang di sana.
Pantas saja, orang-orang mengataiku hilang asa.
Meski ngeri, aku tetap berharap menyimpan riakku atas berbagai ujaran bernada dari sang penguasa atas segalanya.
Aku tak ingin membuatnya makin runyam. Merepotkan.
Berkali-kali aku mendorong diri.
Yah, tidak begitu buruk, tapi tidak sebaik itu juga.
Mereka bilang, kenapa harus menangis? Air mata tidak akan bisa memperbaikinya.
Seakan aku, manusia yang tidak berhak tahu bagaimana cara menikmati momen itu.
Kata mereka, berenang dalam air yang keruh hanya akan menjauhkanmu dari Sang Semesta.
Licik!
Seakan hal itu dibuat eksklusif sehingga sukar untuk ku rasa.
Persetan!
Aku adalah aku.
Sang puan yang penuh beban.
Tak ada satupun yang bisa meremukkan ukiran elok yang dibuat khusus oleh-Nya—untuk ku.